Sunday, November 23, 2008

BISNIS BESI TUA TAK LEKANG WAKTU

Bagi sebagian orang rongsokan tongkang dan kapal-kapal tua, mungkin tak ada artinya. Namun bagi pengusaha besi tua, rongsokan tongkang dan kapal tua tersebut bagai emas. Bisa menghasilkan uang setiap saat dibutuhkan. Memang, jika pandai berhitung, bisnis besi tua bisa mendatangkan keuntungan ratusan juga rupiah.

Menekuni bisnis besi tua dari kapal atau tongkang yang sudah tidak layak berlayar lagi, tidak semata membutuhkan modal hingga ratusan juta rupiah. Namun perhitungan yang cermat, kelihaian menaksir bagian-bagian kapal atau tongkang yang punya nilai jual, ikut menentukan untung rugi bisnis ini. Jika salah menaksir, bisa-bisa modal ratusan juta rupiah melayang begitu saja. Tak hanya itu, naluri bisnis pun ikut berperan. Seperi halnya usaha besi tua milik Haji Shiddiq di kawasan pengasinan Cilincing, Jakarta Utara. Selain berbekal pengalaman Haji Shiddiq masih mengandalkan nalurinya.

“Saya beli itu saya naksir dengan keyakinan dan pengalaman saya sendiri. Disini masuk, disini juga yakin. DI otak saya masuk, ya di hati yakin. Jadi dengan keyakinan itu saja saya. Soalnya kalau saya ngitung bukan pake matematika, tapi mati-matian. He..he..he.. “, kata Haji Shiddiq

Tongkang tua misalnya, DWT atau beratnya sesuai surat jalan mencapai 12.000 ton. Namun ketika dinyatakan sudah tidak layak berlayar lagi, rongsokan besi tua ini beratnya akan berkurang dimakan usia. Disinilah, kelihaian menaksir diperlukan. Tongkang yang didatangkan dari Manado ini ditaksi kini bobotnya berkisat 900 ton, setelah dikurangi bagian-bagian yang tak bernilai jual. Namun umumnya body tongkang keseluruhan terbuat dari bahan besi. Harga belinya Rp. 525 juta, belum termasuk ongkos menarik tongkang dan biaya masuk ke Jakarta yang mencapai Rp. 350 juta. Total modal awal yang diperlukakn mencapai Rp. 875 juta. Rongsokan tongkang ini kemudian dipotong-potong. Biasanya untuk mengerjakan pemotongan, sang pengusaha besi tua mempercayakan kepada seorang pemborong. Selanjutnya pengusaha tinggal menghitung keuntungan yang akan diperoleh dari hasil penjualan besi-besi tua.

Tongkang seperti ini terdiri dari 3 jenis besi tua yang punya nilai jual. Bagian tunas, sebagian dek atau disebut bakar,lempengan besinya umumnya setebal 12 mm memiliki harga jual paling tinggi. Bisa mencapai Rp. 1700 lebih per-kg. Body tongkang yang terdiri dari lempengan besi atau plat setebal 8 mm, nilai jualnya berkisar antara Rp. 1300 – Rp. 1500. Sedang sisanya merupakan besi tua yang nilai jualnya paling rendah, yaitu Rp. 1200 per-kg. Jika dirata-rata maka harga besi tua itu perkilogramnya sebesar Rp. 1400. Maka jika sebuah tongkang bisa menghasilkan potongan-potongan besi tua mendekati bobot aslinya 10.000 ton misalnya, sang pengusaha besi tua bisa memperoleh uang dari hasil penjualan sebedar Rp. 14 Trilyun. Dikurangi biaya pembelian tongkang dan biaya operasional lainnya selama 3 bulan pengerjaan, seperti tenaga kerja, pembelian tabung oksigen, gas dan ongkos angkut, total mencapai Rp. 2,5 trilyun, pengusaha besi tua akan memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp. 10 trilyun. Menggiurkan memang. Disisi lain, resiko berbisnis besi tua juga cukup tinggi. Ratusan juta rupiah bisa melayang. Itu terjadi jika salah menaksir bobot kapal atau tongkang, dan waktu yang dibutuhkan selama pemotongan, jauh lebih lama dari yang diperkirakan, sehingga biaya operasional membengkak.

Berbisnis besi tua seperti usaha Haji Shiddiq ini memang menggiurkan. Dibutuhkan kecermatan dan naluri bisnis yang kuat, agar tak salah berhitung. Jika perkiraan tepat, keuntungan ratusan juta rupiah menanti. Kapal-kapal dan tongkang-tongkang tua pun akan selalu menanti pembeli. Bisnis besi tua memang tak lekang oleh waktu.


Peran Pemborong dan Tenaga Pemotong Bisnis Besi Tua

Menjalankan bisnis besi tua seperti pemotongan kapal atau tongkang, memang tidak semata butuh modal ratusan juga rupiah. Kemampuan lain yang tak kalah pentingnya adalah jitu menaksit bobot kapal atau tongkang dan mampu menghitung lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memotong-motong hingga tak bersisa. Biasanya pengerjaan mulai dari menaksir bobot kapal hingga pemotongan, termasuk menyediakan tenaga kerja dipercayakan kepada seorang pemborong. Disini peran pemborong cukup sentral. Jika perhitungan meleset, bisa-bisa biaya operasional membengkak. Itu berarti keuntungan yang diperoleh berkurang.

“Kalau naksir kapal tergantung DWT. Kalau DWT 12.000 ton, 4000 itu mutlak bersih. Lain sama gudang. Kalau kapal kan tergantung DWT-nya. Kita waspada, anggap aja kita beli mobil. Kalo DWT-nya palsu, itu berarti kita jebol”, penjelasan Giman seorang pemborong besi tua.

Pemborong kapal ini bekerja berdasarkan kontrak. Upah diperoleh dari kelihaian si pemborong menghitung waktu yang dihabiskan untuk memotong tongkang secara keseluruhan. Untuk mengerjakan tongkang ini, Giman diberi waktu 4 bulan lamanya oleh si pengusaha besi tua. Padahal menurut perkiraannya, pemotongan tongkang bisa selesai dalam jangka waktu 3 bulan. Kelebihan biaya operasional itu yang mencapai puluhan juta rupiah, menjadi keuntungan si pemborong. Hanya saja, si pemborong juga harus menanggung resiko jika ternyata pengerjaannya molor dari batas waktu yang ditentukan.

“Sebagai pemborong ya nanggung resiko semuanya sepaya dapat hasil cepat, supaya kapalnya cepat dapat hasil, ya nanggung segala-galanya supaya bayar oksigen ketutup, bayar anak buah ketutup, syaratnya supaya cepet itu, supaya tongkang maju”, penjelasan Giman lebih lanjut.

Agar terhindar dari resiko si pemborong tak sembarangan memperkerjakan orang. Karena itu tak heran, beberapa pekerja yang upah perharinya bisa mencapai Rp. 100.000,- Biasanya mereka yang telah memiliki pengalaman kerja puluhan tahun di bidang pemotongan besi tua. Tenaga yang telah berpengalaman ini, umumnya berasal dari Madura, Jawa Timur. Bisa bekerja dengan cepat dan cukup disiplin dalam soal waktu. Tak heran, jika bisnis besi tua banyak di dominasi orang-orang Madura.

Lain lagi dengan upah tenaga baru. Umumnya berkisar antara Rp. 45.000 – Rp. 70.000,- Upah seluruh tenaga pemotong yang jumlahnya mencapai 30 orang, menjadi tanggung jawan pemborong. Begitu p ula dengan biaya operasional lain seperti pembelian tabung oksigen, tabung gas, sewa truk dan ongkos angkut dari tempat pemotongan ke perusahaan peleburan besi, juga menjadi tanggung jawab si pemborong.

Hambatan selama proses pemotongan nyaris jarang ditemui. Kalau pun ada biasanya dikarenakan factor alam seperti musim ombak misalnya. Di saat ombak besar, para pekerja akan mengalami kesulitan melakukan pemotongan tongkang atau kapal. Jika terjadi hal demikian kerugian tak bsia dihindari.

“Ya meleset itu umpama kalau ada halangan umpama ombak, kalau lainnya meleset juga nggak seberapa gitu “, demikian penjelasan Giman.

Peluang menjadi pemborong besi tua memang masih terbuka lebar. Apalagi hambatan yang dihadapi relatif jarang. Asal pandai berhitung dan menyiasati waktu, bisa mengantongi keuntungan puluhan juta rupiah.

On Air di Program HORISON
Indosiar, 17 Juni 2003
Ninok Hariyani

No comments: